DARI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) MENUJU TARGET SDGs 2030

Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan atau global goals menjadi acuan dalam perundingan negara-negara dunia untuk melanjutkan pembangunan delapan tujuan yang ingin dicapai pada Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah mencapai tahap akhir pada tahun 2015. SDGs dalam pelaksanaannya ditetapkan selama 15 tahun dan akan berakhir pada tahun 2030 tidak terpisah dari pencapaian MDGs, dan merupakan bentuk penyempurnaan dari MDGs untuk melanjutkan tujuan utama MDGs yang belum tercapai, antara lain permasalahan kesehatan ibu dan anak, akses terhadap air bersih dan sanitasi, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta status gizi.

Terdapat perbedaan SDGs dengan MDGs. Pada MDGS target dan sasarannya adalah separuh, mengurangi separuh kemiskinan, target yang terlalu minimal dan banyak negara yang telah terlebih dahulu mencapainya. Pada SDGs target dan sasarannya adalah semua, sepenuhnya dan tuntas dalam mengakhiri kemiskinan, 100 persen penduduk memiliki akta kelahiran, memerlukan fokus untuk merangkul mereka yang terpinggir dan terjauh. Selain itu, MDGs mengandaikan bahwa negara miskin dan berkembang yang mempunyai pekerjaan rumah, sementara negara maju mendukung dengan penyediaan dana, pada SDGs berlaku universal, memandang semua negara memiliki pekerjaan rumah, tiap-tiap negara wajib mengatasi dan harus bekerjasama untuk menemukan sumber pembiayaan dan perubahan kebijakan yang diperlukan. Jika pada MDGS dokumen dirumuskan dari atas (topdown) maka SDGs dokumen dirumuskan dari bawah (bottom up) dan partisipatif. Pada MDGs solusi dalam mengatasi masalah secara parsial dan tambal sulam, sementara SDGs solusi dalam mengatasi masalah secara menyeluruh.

SDGs terdiri dari 17 tujuan (goals),yang berupaya merombak struktur dan sistem, 169 target dan lebih kurang terdapat 220 sampai dengan 300 indikator. Seluruh tujuan SDGs adalah sebuah kesatuan sistem pembangunan, tidak mementingkan satu isu tertentu yang terintegrasi dengan pembangunan nasional. Sementara MDGs menetapkan agenda global untuk pembangunan, termasuk kesehatan anak, dan berhubungan dengan percepatan penurunan angka kematian pada anak dibawah usia 5 tahun. Terdapat penurunan dari sebesar 12,7 juta kematian anak di bawah usia 5 tahun secara global tahun 1990 menjadi 5,9 juta pada tahun 2014. Namun, MDGs tidak akan mencapai  tingkat global pada mayoritas negara yang kemajuannya lambat pada anak yang usianya sangat muda, dimana hampir setengah dari kematian anak dibawah usia  5 tahun terjadi di bulan pertama kehidupan.

Masalah gizi atau sering disebut dengan malnutrisi merupakan situasi yang dihadapi di Indonesia. Malnutrisi merupakan suatu keadaan tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup, atau keadaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk mempertahankan kesehatan. Malnutrisi dapat terjadi karena asupan makan terlalu sedikit ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang. Kemiskinan dan rendahnya pendidikan dipandang sebagai akar penyebab kekurangan gizi. Pendidikan dan kecerdasan yang rendah menyebabkan peluang untuk mendapatkan lapangan kerja yang baik semakin kecil sehingga produktivitas juga rendah. Anak dengan gizi kurang cenderung menjadi dewasa pendek dan cenderung melahirkan bayi kecil, serta meningkatkan risiko memiliki status sosial ekonomi rendah dan prestasi pendidikan yang rendah.

Survei terhadap tingkat kecakapan orang dewasa yang dilaksanakan oleh Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development, OECD) pada 2016 menunjukkan hasil yang sangat memprihatinkan.Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat.  Kecakapan orang Indonesia dalam hal membaca, berhitung, maupun pemecahan masalah berada paling bawah dihampir semua kategori umur (untuk kasus DKI Jakarta). Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Dengan kata lain, kita adalah negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei.

Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gizi adalah menjadikan perbaikan gizi sebagai arus utama sumber daya manusia, sosial budaya dan perekonomian. Dikalangan ahli ekonomi ada anggapan bahwa masalah kemiskinan adalah akar dari masalah kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap pangan di rumah tangga sulit dicapai sehingga orang akan kekurangan berbagai zat gizi yang dibutuhkan. Namun tidak banyak diketahui bahwa sebaliknya juga kekurangan gizi dapat memiskinkan orang. Anak atau orang yang kekurangan gizi, mudah terserang penyakit, berarti sering absen sekolah atau bekerja. Hal ini berisiko berkurangnya pendapatan. Sering sakit berarti pengeluaran untuk berobat makin tinggi, sehingga mereka dapat jatuh miskin karena pengeluaran rumah sakit dan dokter yang terus menerus.

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2003, prevalensi ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) mengalami kenaikan selama krisis ekonomi di Indonesia mencapai 24,9%. Meski mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan adanya perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis, sampai dengan saat ini prevalensi bumil KEK masih cukup tinggi yaitu sebesar 16,7%. Tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil ini mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka Berat badan Bayi lahir Rendah (BBLR) di Indonesia yang berdasarkan data dari Depkes tahun 2004 diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya. Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat menjadi 19,6% jika dibandingkan pada 2010 yang sebesar 17,9%.

Masalah lain adalah tingginya prevalensi stunting (balita pendek) yakni sebesar 31,4% dimana kedua masalah tersebut terkait dengan masalah gizi pada ibu hamil. Untuk mengatasinya dibutuhkan upaya inovatif sebagai terobosan untuk mempercepat penurunannya dengan fokus pada perbaikan gizi 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) meliputi 270 hari masa kehamilan dan 730 hari hingga anak usia 2 tahun. Anak yang kurang gizi dibuktikan tertinggal kelas 2-3 tahun dari sebayanya yang sehat. Karena pendidikannya relatif rendah dan sering sakit, maka produktivitas mereka juga rendah. Peluang untuk mendapatkan lapangan kerja yang baik menjadi kecil. Dengan demikian akibat dari kekurangan gizi apabila tidak diupayakan perbaikan, khususnya pada masa 1000 HPK, dapat membuat keluarga menjadi miskin atau tambah miskin.

Titik awal upaya percepatan perbaikan gizi diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 42 tahun 2013 yang merupakan kebijakan terintegrasi dalam rangka perbaikan gizi dengan fokus pada kelompok 1000 HPK meliputi 270 hari masa kehamilan dan 730 hari hingga anak usia 2 tahun. Periode ini telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan, oleh karena itu periode ini disebut juga sebagai “periode emas”, “periode kritis”, dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai “window of opportunity“. Periode window of opportunity adalah kesempatan singkat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan dan harus dimanfaatkan, karena bila terlewatkan risiko terhadap kesehatan akan terjadi di kemudian hari dan sifatnya permanen. Kurang gizi pada anak dan tidak terstimulasi lingkungan berkontribusi terhadap perkembangan anak, kesehatan dan produktivitas pada masa dewasa.

Masalah kekurangan gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation). Di negara berkembang kurang gizi pada wanita sebelum hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan BBLR. Kondisi IUGR hampir separonya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan (BB) ibu sebelum hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) kurang dari seharusnya. Model DOHaD (Developmental Origins of Health and Disease) awalnya difokuskan pada berat badan lahir rendah yang dianggap sebagai penanda kuat kesehatan lingkungan intrauterin, dan berdasarkan hipotesis Barker diusulkan bahwa kualitas lingkungan intrauterin merupakan faktor utama dalam kesehatan dan penyakit mendatang yang timbul dari efek pemrograman gizi pada kehamilan ibu. Model DOHaD mengusulkan bahwa pengembangan dalam rahim dan bahkan mungkin  faktor sebelum konsepsi seperti  berat badan sebelum hamil, status gizi atau riwayat kesehatan mental, dapat mempengaruhi fungsi ibu  dalam kehamilan dan dengan cara ini dapat ditularkan ke anak selama pengembangan  janin

Berdasarkan hipotesis Barker (1995) apabila pasokan gizi dari ibu ke bayi kurang, bayi akan melakukan penyesuaian, karena bayi bersifat plastis (mudah menyesuaikan diri). Penyesuaian tersebut bisa melalui pengurangan jumlah sel dan pengecilan ukuran organ dan tubuh yang lebih kecil, agar sesuai dengan terbatasnya asupan gizi. Kekurangan gizi didalam kandungan menyebabkan terjadinya respons kompensasi pada janin yang merefleksikan apa yang disebut ”developmental plasticity” (plastisitas perkembangan) pada masa-masa kritis ini, tetapi kemudian menjadi permanen pada pasca lahir dan sepanjang hidupnya yang menyebabkan bayi tersebut mempunyai keterbatasan untuk melakukan adaptasi pada masa pasca-lahir sampai usia dewasa.

Respons janin terhadap perubahan gizi ibu, melalui mekanisme developmental plasticity, menyebabkan bayi membutuhkan lingkungan yang sama dengan saat dalam kandungan. Apabila lingkungan pasca-salin berbeda, maka akan menyebabkan apa yang disebut sebagai situasi “mismatch” antara apa yang sudah dipersiapkan oleh janin dalam kandungan untuk menghadapi situasi pasca-salin, sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM). Esensi dari developmental plasticity adalah suatu periode kritis saat suatu sistem bersifat plastis dan sensitif terhadap lingkungannya, diikuti dengan hilangnya plastisitas dan kapasitas fungsional yg menetap. Sebagian besar organ dan sistem, masa kritisnya adalah saat dlm kandungan. Barker dan Hales kemudian menyampaikan hipotesa lanjutan yaitu ”Thrifty Phenotype”, dimana bayi yang mengalami kekurangan gizi didalam kandungan, dan telah melakukan adaptasi metabolik dan endokrin secara permanen akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi pada lingkungan ”kaya gizi” pasca lahir, sehingga menyebabkan obesitas dan mengalami gangguan toleransi terhadap glukosa.

Sebaliknya, risiko obesitas lebih kecil apabila pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak berlebihan. Bayi akan melakukan adaptasi untuk mengatasi kekurangan zat gizi tersebut. Hal ini akan menyebabkan perubahan struktur atau fungsi organ yang sedang dalam taraf perkembangan, yang dapat bersifat permanen. Organ akan mengalami perubahan, yaitu di hati kadar kolesterol meningkat,  pengaruh pada pancreas menyebabkan diabetes melitus serta kanker payudara. Oleh karena itu, akibat dari kurang gizi pada periode ini bersifat permanen, yang pengaruhnya terbawa sampai ke usia dewasa. Keadaan ini ternyata tidak hanya bersifat inter atau antar generasi (dari ibu ke anak) tetapi juga trans-generasi (dari nenek ke cucunya). Sehingga diperkirakan dampaknya mempunyai kurun waktu 100 tahun, artinya risiko tersebut berasal dari masalah yang terjadi sekitar 100 tahun yang lalu, dan dampaknya akan berkelanjutan pada 100 tahun berikutnya.

Kematian neonatal di seluruh dunia sebagian besar disebabkan oleh komplikasi kelahiran prematur (35%), komplikasi selama persalinan (24%) dan sepsis (15%). Kurang gizi, hambatan pertumbuhan janin, menyusui yang tidak optimal, stunting, wasting, defisiensi vitamin A dan zink menyebabkan 45% kematian anak dari 1-3 juta kematian/tahun. Secara umum, prevalensi stunting menurun perlahan, tapi masih  terdapat 165 juta  balita stunting pada tahun 2011; wasting 52 juta anak; dan menyusui yang kurang optimal menyebabkan 800.000 kematian.  Sehingga, penting membatasi hambatan pertumbuhan janin atau bayi kecil untuk masa kehamilan. Anak dengan status gizi kurang sering dikaitkan dengan infeksi dan defisiensi zat gizi mikro.

Menurut Horton (2003) perlu upaya intervensi untuk memperbaiki nutrisi ibu dan menurunkan hambatan pertumbuhan janin (bayi kecil untuk usia kehamilan) merupakan cara yang tepat bagi negara berkembang jika percepatannya dilakukan sebelum dan selama kehamilan, termasuk keseimbangan energi protein, calsium dan suplementasi multi micronutrien (MMN) serta mencegah terjadinya malaria dalam kehamilan. Mikronutrien terdapat dalam jumlah sangat sedikit dalam tubuh, namun mempunyai peran yang penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat selular, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Kegagalan mencapai status gizi yang optimal pada remaja putri dan ibu hamil akan berdampak pada status zat gizi mikro saat ini, dan pada gilirannya dapat berdampak pada status gizi generasi penerus. Langkah pertama untuk mengubah kondisi tersebut adalah dengan memperbaiki asupan gizi untuk wanita sebelum hamil dan pada saat hamil.

Status gizi Ibu sebelum konsepsi (sejak menjadi calon pengantin) dan atau selama awal kehamilan dapat mempengaruhi hasil kehamilan dengan mempengaruhi proses perkembangan kritis pada masa kehamilan hingga anak usia dua tahun. Dengan mengikuti pelayanan prakonsepsi dapat dilakukan identifikasi sedini mungkin faktor risiko anemia sebelum hamil dan mengidentifikasi dan mengelola kondisi dan perilaku ibu pada saat hamil yang dapat menimbulkan risiko bagi ibu dan bayi sejak awal kehamilan. Pelayanan kepada ibu hamil atau antenatal care selama ini terkendala dalam keterlambatan kontak pertama (K1) ibu hamil, serta banyaknya kasus anemia pada wanita pra hamil (prakonsepsi). Pemberian tablet besi dan folat pada saat ibu sudah hamil dianggap terlambat, karena pembentukan organ (organogenesis) telah tejadi pada minggu 1-3 setelah masa pembuahan (konsepsi). Oleh karena itu, pelayanan wanita prakonsepsi menjadi sangat penting, yang menjadi bagian dari pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA).

Penanganan masalah gizi merupakan upaya lintas sektor untuk mengatasi penyebab langsung, tidak langsung, dan akar masalah melalui upaya intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Gizi yang baik adalah landasan bagi kesejahteraan manusia, sebelum kelahiran dan pada masa bayi, yang memungkinkan fungsi otak berkembang tanpa gangguan serta sistem kekebalan tubuh yang lebih baik.  Intervensi program gizi sensitif berperan penting dalam membatasi stunting, wasting, dan memperbaiki perkembangan anak, dimana percepatan perbaikan gizi dengan intervensi spesifik tidak dapat mengatasi masalah tersebu. Ringkasan eksekutif dari seri Lancet menyimpulkan bahwa negara tidak akan dapat keluar dari kemiskinan dan mempertahankan kemajuan ekonomi tanpa memastikan bahwa rakyatnya dipelihara secara adekuat.

Pelayanan kesehatan prakonsepsi (calon pengantin dan pengantin baru) merupakan strategi kesehatan untuk memperbaiki kesehatan wanita dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Pelayanan prakonsepsi adalah pelayanan wanita usia reproduksi sebelum kehamilan untuk memastikan bahwa kondisi dan perilaku ibu pada saat hamil yang dapat menimbulkan risiko bagi ibu dan bayi dapat diidentifikasi dan dikelola agar dapat terdeteksi sejak awal kehamilannya, termasuk peningkatan status gizi, pencegahan dan pengobatan anemia serta monitoring terjadinya komplikasi kehamilan, termasuk kejadian preeklampsia sehingga dapat membantu menurunkan AKI dan AKB. Perlu penerapan model pelayanan yang melibatkan semua sektor terkait pada pelayanan wanita periode prakonsepsi, mulai dari KUA, Puskesmas, dan Kelurahan yang melibatkan Kepala Kelurahan, Kepala/Penghulu KUA, Bidan Puskesmas/Kelurahan, Kader Posyandu, PKK,  kepala Kelurahan serta Ketua RW.

Calon pengantin setelah melapor pada ketua RT/RW selanjutnya ke kelurahan. Kelurahan akan memberikan surat pengantar kepada calon pengantin untuk melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas. Puskesmas memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu prakonsepsi berupa pemeriksaan antropometri (Tinggi Badan, Berat Badan, Lingkar Lengan Atas), pengukuran tekanan darah, pemeriksaan hemoglobin untuk mendeteksi anemia, pemeriksaan proteinuria, imunisasi TT, pemberian suplemen dan kartu monitoring multi zat gizimikro, serta konseling gizi dan kesehatan reproduksi. Selain itu juga memberikan surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan kepada wanita prakonsepsi.

Kantor Urusan Agama (KUA) menambahkan materi gizi dan kesehatan reproduksi pada pelaksanaan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) serta membantu mensosialisasikan kepada calon pengantin tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan di Puskesmas.

Kecamatan mengkoordinir pelaksanaan pelayanan terpadu kepada ibu prakonsepsi di Kecamatan, memberikan himbauan kepada lurah agar memberikan surat pengantar kepada calon pengantin untuk pemeriksaan kesehatan di Puskesmas dan memeriksa surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan calon pengantin dari Puskesmas. Selain itu juga memberikan himbauan kepada ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan untuk menggerakkan kader posyandu untuk menjaring dan mendampingi wanita prakonsepsi agar mendatangi pelayanan kesehatan di Puskesmas serta memonitor konsumsi kapsul multi zat gizi mikro oleh wanita prakonsepsi.

PKK menggerakkan kader-kader posyandu untuk mengidentifikasi dan menjaring wanita prakonsepsi, memotivasi, mendampingi, serta memonitor konsumsi kapsul multi zat gizimikro oleh wanita prakonsepsi.

Percepatan peningkatan upaya perbaikan gizi yang lebih difokuskan pada evaluasi terhadap intervensi sensitif, berupa evaluasi kegiatan pembangunan di masyarakat yang tidak dikenal sebagai program gizi, tetapi secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap status gizi anak dan ibu, antara lain dengan melakukan kerjasama lintas sektor dan meniadakan ego sektoral sangat diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan dan gizi, karena banyak faktor sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang melatar belakanginya dapat dipecahkan bersama-sama antar kementerian : Kesehatan, Agama, Pendidikan, Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, Pertanian, Pekerjaan Umum, Perindustrian, Ekonomi Kreatif.

 

Kesimpulan

Masa 15 tahun ini menjadi tantangan mencapai tujuan dan menjawab tantangan global serta pembangunan kesejahteraan manusia. Memperbaiki kesehatan calon pengantin (sejak prakonsepsi) dan saat kehamilan penting dilakukan dalam kaitannya mencapai sasaran SDGs. Periode window of opportunity adalah kesempatan singkat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan dan harus dimanfaatkan, karena bila terlewatkan risiko terhadap kesehatan akan terjadi di kemudian hari.

Perlu dilakukan penelitian berbasis bukti untuk membantu mengungkap pentingnya gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dimana hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mencegah dan mengatasi masalah anemia pada ibu hamil, kematian ibu dan bayi, stunting serta kecenderungan makin meningkatnya kejadian penyakit hipertensi, penyakit jantung, serta diabetes pada orang dewasa muda di Indonesia.

Kurang gizi pada wanita prakonsepsi tidak hanya masalah kesehatan sehingga untuk mengatasi masalah gizi perlu model pelayanan yang melibatkan semua sektor agar mendukung gerakan yang dicanangkan pemerintah yaitu Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang difokuskan pada penyelamatan 1000 HPK serta optimalnya pertumbuhan selama periode 1000 HPK.

Perlu sosialisasi berkelanjutan kepada masyarakat tentang pelaksanaan percepatan perbaikan gizi  disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dengan kultur dan kearifan lokal masing-masing daerah dengan senantiasa memperhatikan nawacita (9 agenda prioritas bagi kelompok berisiko tinggi yang berfungsi sebagai kendaraan untuk membawa SDGs menjadi nyata) berupa perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang terintegrasi dalam mencapai tujuan APBN dan target SDGs tahun 2030.

 

Perlu upaya pemberdayaan bagi masyarakat, khususnya keluarga dengan melakukan edukasi dan konseling pada wanita prakonsepsi, yang dimulai dari KUA, bukan hanya untuk wanita tetapi juga untuk pria sebagai bagian dari kesehatan reproduksi oleh karena anak yang berkualitas sebagai generasi penerus keluarga didambakan oleh semua keluarga dan bangsa.

 

Daftar Pustaka

Adriani, Merryana dan Wirjatmadi, Bambang. 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Amelie Casgrain, R. C., Linda J Harvey, Lee Hooper, and Susan J Fairweather-Tait. Effect of iron intake on iron status: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. American Journal Clinical Nutrition. doi: AJCN. First published ahead of print August 29, 2012 as doi: 10.3945/ajcn.112.040626.

Bapenas Republik Indonesia (2012). Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)

BPS pada Workshop SDGs Bappenas, 2015 dan dokumen Transforming Our World, UN 2015

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Profil Kesehatan Indonesia

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Profil Kesehatan Indonesia

Drupadi H.S.D. 2005. Nutritional Health Of Indonesian Adolescent Girls: The Role Of Riboflavin and vitamin A on Iron Status. Thesis : Wageningen University, Pp:159-7

Franziska Staubli Asobayire, P. A., Lena Davidsson, James D Cook, and Richard F Hurrell. (2001). Prevalence of iron deficiency with and without concurrent anemia in population groups with high prevalences of malaria and other infections: a study in Côte d‘Ivoire. Am J Clin Nutr, 74:776–782.

Gibson R.S. 1990. Principles of Nutritional Assesment. New York : Oxford University Press:349 – 76

Laporan Millenium Development Goals, 2010

Laporan Millenium Development Goals, 2014

Laporan Millenium Development Goals, 2015

Marie T Ruel, H. A., and the Maternal and Child Nutrition Study Group*. Nutrition-sensitive interventions and programmes: how can they help to accelerate progress in improving maternal and child nutrition? Lancet 2013; 382: 536–51, Lancet 2013; 2382: 2536–2051.

Organisation for Economic Co-operation and Development, (OECD) 2016

Organization, W. H. (2014). C-reactive protein concentrations as a marker of inflammation or infection for interpreting biomarkers of micronutrient status.

Publication, A. P. R. (2014). Global Nutrition Report. Actions and Accountability To Accelerate The World’s Progress On Nutrition. doi: http://dx.doi.org/10.2499/9780896295643

Richard Horton, S. L. (2003). Nutrition: a quintessential sustainable development goal. The Lancet, London NW1 7BY, UK, 2.

Robert E Black, C. G. V., Susan P Walker, Zulfi qar A Bhutta*, Parul Christian*, Mercedes de Onis*, Majid Ezzati*,, & Sally Grantham-McGregor*, J. K., Reynaldo Martorell*, Ricardo Uauy*, and the Maternal and Child Nutrition Study Group†. Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. Lancet 2013; 382: 427–51.

Sumarno I. 1997. Efektivitas Suplementasi Pil Besi + folat dan Vitamin C Secara Berselang Dalam Penanggulangan Anemia Pada Ibu Hamil di Masyarakat. Jurnal Kedokteran Yarsi, Mei 1997 vol 5 no.2

Thomas*, C. T. a. L. (2002). Biochemical Markers and Hematologic Indices in the Diagnosis of Functional Iron Deficiency. Clinical Chemistry, 48:47 1066–1076.

Vildan KOÞAN ÇULHA*, Z. U. (2002). The Importance of Serum Transferrin Receptor and TfR-F Index in the Diagnosis of Iron Deficiency Accompanied by Acute and Chronic Infections. Turk J Haematol 2002;19(4):453-459.

Zulfiqar A Bhutta, J. K. D., Arjumand Rizvi, Michelle F Gaff ey, Neff Walker, Susan Horton, Patrick Webb, Anna Lartey, Robert E Black,, & The Lancet Nutrition Interventions Review Group, a. t. M. a. C. N. S. G. Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost? Lancet 2013; 382: 452–77, 26.

Post Your Thoughts


× 4 = dua belas